Digerudug Massa KTH, Pekerja Tebu Perhutani Lari Terbirit Birit

BLORA- ,Ketegangan di kawasan hutan Desa Kajengan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada Senin,(3/11/2025) siang, menjadi gambaran nyata bahwa konflik agraria di Indonesia belum menemukan titik temu antara semangat reformasi kebijakan dengan praktik di lapangan.


Di bawah terik matahari, suara teriakan bergema di tengah hamparan hijau hutan jati. Ratusan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Tirto Kajengan berkerumun mengelilingi sejumlah pekerja Perhutani. Mereka menuntut satu hal: Perhutani KPH Blora harus menghormati Surat Keputusan (SK) Reforma Agraria yang telah dikeluarkan Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


Di antara massa yang penuh emosi, seorang lelaki berusia sekitar 40-an berdiri di atas tumpukan kayu gelondongan. Dialah Jojok, juru bicara sekaligus koordinator aksi. Dengan suara bergetar, ia berteriak di hadapan awak media dan petani yang berkerumun:


“Kami sudah memegang SK dari Presiden, dari Kementerian. SK 185 dan 192 itu jelas untuk rakyat. Tapi Perhutani membangkang. Mereka tetap menggarap lahan ini, padahal hak kelola sudah diserahkan untuk rakyat!”


Peristiwa ini bukan sekadar aksi spontan petani yang marah. Ia adalah letupan dari proses panjang yang menyimpan luka sejarah.

Blora—wilayah dengan hutan jati terluas di Jawa Tengah—selama puluhan tahun menjadi simbol kontradiksi antara “kekayaan alam negara” dan “kemiskinan rakyat hutan”.


Dalam kerangka Reforma Agraria Nasional, Presiden Joko Widodo pada 10 Maret 2023 menyerahkan sejumlah SK Perhutanan Sosial di Blora. Dua di antaranya adalah SK 185 dan SK 192, yang memberikan hak kelola kepada kelompok masyarakat, termasuk KTH Tirto Kajengan, untuk memanfaatkan lahan hutan negara secara legal dalam skema Kemitraan Kehutanan.


Program ini dimaksudkan agar rakyat hutan tidak lagi menjadi buruh di tanah sendiri, melainkan pengelola aktif yang menanam, memelihara, dan memperoleh hasil dari sumber daya hutan dengan prinsip kelestarian.


Namun, dua tahun setelah seremoni penyerahan SK itu, realitas di lapangan berkata lain.


“Kami dijanjikan lahan garapan yang legal. Tapi nyatanya, lahan itu masih dikelola Perhutani untuk tebu. Rakyat disuruh menunggu, tapi Perhutani tetap menanam dan memanen,” kata Suyanto, anggota KTH yang mengaku sudah tiga kali ikut rapat mediasi tanpa hasil.


Puncak kemarahan terjadi ketika para petani mendapati sejumlah pekerja Perhutani tengah beraktivitas di lahan yang mereka klaim sebagai areal Perhutanan Sosial.


Bagi KTH, ini adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap SK KLHK. Mereka pun memutuskan melakukan aksi ekstrem: menahan para pekerja lapangan sebagai bentuk tekanan politik dan moral agar pihak Perhutani hadir langsung.


“Kami tidak menyakiti mereka, hanya kami tahan di lokasi ini. Kami ingin Bu ADM (Administratur KPH Blora) datang dan bertanggung jawab,” ujar Jojok menegaskan, di tengah suasana yang terus memanas.


Petani mendirikan tenda darurat di tepi lahan, sebagian berjaga dengan spanduk bertuliskan “Hutan Untuk Rakyat, Bukan Untuk Konglomerat”. Di tengah penjagaan ketat itu, aroma dendam agraria terasa kental. Mereka menolak pulang sebelum mendapat kepastian hukum di lapangan, bukan sekadar janji di atas kertas.


Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari Administratur (ADM) KPH Blora. Namun dari informasi internal yang dihimpun, pihak Perhutani merasa memiliki tanggung jawab menjaga aset negara. Mereka menilai proses redistribusi lahan harus melalui mekanisme teknis yang ketat, termasuk verifikasi lapangan dan koordinasi lintas instansi.


“Kalau semua klaim langsung diakui tanpa penataan, maka hutan negara bisa habis,” ujar seorang sumber di lingkungan Perhutani yang enggan disebut namanya.


Pandangan itu menunjukkan adanya ketegangan paradigma:


1. Di satu sisi, Perhutani merasa bertugas menjaga aset negara dari eksploitasi tanpa izin.



2. Di sisi lain, rakyat menilai negara telah memberi hak kelola kepada mereka, dan Perhutani seharusnya menyesuaikan peran menjadi mitra, bukan penguasa tunggal.




Untuk diketahui, SK 185 dan SK 192 dari KLHK adalah payung hukum yang memberi hak kepada kelompok masyarakat di sekitar hutan untuk mengelola lahan dalam pola kemitraan.


Program ini bagian dari Reforma Agraria, agenda besar pemerintahan Jokowi untuk mendistribusikan 9 juta hektare lahan bagi rakyat kecil.

Namun, problem implementasi sering muncul di tingkat lapangan:


Penentuan batas areal tidak disosialisasikan secara jelas.


-Perhutani masih menjalankan program tumpang tindih seperti tebu, jati, atau tanaman industri lainnya.


Dan tidak jarang, pejabat lokal enggan mengambil risiko dengan menandatangani peralihan operasional.


Hal inilah yang memicu rasa frustasi di kalangan petani. Mereka menilai negara hanya berpihak ketika di depan kamera, tetapi abai ketika rakyat berhadapan langsung dengan aparat birokrasi.


Kasus di Kajengan hanyalah satu dari ratusan konflik agraria serupa di Indonesia.


Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2023–2024, terdapat lebih dari 200 konflik agraria baru, dan hampir separuhnya melibatkan kawasan hutan serta Perhutani.


Blora menjadi simbol paradoks: daerah dengan sumber daya kayu melimpah, tapi ribuan warganya hidup di bawah garis kemiskinan.

Dalam lanskap sosial-ekonomi seperti ini, reforma agraria bukan sekadar distribusi lahan, melainkan juga upaya membangun martabat rakyat hutan yang selama puluhan tahun hanya menjadi penonton.


Menjelang sore, aroma asap kayu mulai memenuhi udara di hutan Kajengan. Para petani menyalakan api unggun sambil berjaga.


Wajah mereka lelah, namun tekadnya keras: mereka ingin negara hadir, bukan sekadar melalui simbol SK, tetapi dengan tindakan nyata menghentikan praktik yang mereka anggap sewenang-wenang.


“Kami tidak minta lebih. Kami hanya ingin Perhutani patuh pada keputusan negara. Ini tanah yang dijanjikan untuk rakyat,” ujar Jojok pelan, sebelum kembali bergabung dengan barisan petani yang duduk melingkar.

Hingga malam, Administratur KPH Blora belum juga tiba.Namun di tengah gelap dan dinginnya udara hutan, nyala perjuangan rakyat Kajengan tetap menyala—menjadi simbol kecil dari bara besar Reforma Agraria yang belum padam di seluruh pelosok negeri.

(Bambang)Kaperwil Jawa Tengah

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html