Diduga Langgar SOP, Warga Penggaron Jadi Korban Penangkapan oleh Satreskrim Polres Semarang
SEMARANG- Kasus penangkapan seorang warga Penggaron, Kabupaten Semarang, berinisial SR, menuai sorotan publik dan kritik tajam terhadap kinerja aparat kepolisian. SR ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kepemilikan sepeda motor tanpa asal-usul yang jelas. Namun, pihak keluarga menegaskan bahwa motor tersebut dibeli secara normal tanpa mengetahui latar belakang bermasalah.
Peristiwa penangkapan oleh Satreskrim Polres Semarang pada 19 Agustus 2025 itu diduga kuat tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan aturan hukum yang berlaku.
“Pinjam Suami” Berujung Jeruji Besi,
Istri SR mengungkapkan kepada awak media bahwa saat penangkapan berlangsung, beberapa anggota kepolisian datang ke rumah dan menyampaikan bahwa mereka hanya akan “meminjam” suaminya sebentar untuk membantu menunjukkan keberadaan seseorang yang diduga terlibat kasus lain.
Namun, sejak saat itu SR tidak pernah kembali ke rumah. Keluarga tidak mendapatkan informasi apa pun selama lebih dari 1x24 jam, bahkan hingga 2x24 jam. Baru dua hari kemudian mereka mengetahui bahwa SR telah ditahan di Polres Semarang.
Padahal, sesuai Pasal 18 ayat (1) KUHAP, aparat wajib menunjukkan surat penangkapan kepada tersangka maupun keluarganya. Sementara Pasal 19 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa penangkapan tidak boleh dilakukan lebih dari 1x24 jam tanpa perpanjangan resmi.
Indikasi Penyalahgunaan Wewenang,
Langkah aparat yang diduga menahan tanpa prosedur jelas ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, di mana pejabat yang dengan sengaja bertindak sewenang-wenang terhadap warga dapat dipidana penjara.
“Kalau penangkapan tanpa surat resmi dan tanpa pemberitahuan kepada keluarga, lalu penahanan melebihi batas waktu, itu jelas pelanggaran hukum. Polisi tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena jabatan itu amanah, bukan kekuasaan,” ujar seorang pemerhati hukum yang enggan disebutkan namanya.
Kritik Tajam terhadap Institusi Polri
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh aparat di tingkat daerah. Publik menilai, tindakan seperti ini tidak hanya merugikan korban dan keluarganya, tetapi juga merusak citra dan wibawa Polri di mata masyarakat.
Masyarakat mendesak Kapolda Jawa Tengah, Propam Polda Jateng, hingga Mabes Polri untuk segera turun tangan mengusut dugaan pelanggaran hukum ini. Tanpa tindakan tegas, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dikhawatirkan akan terus menurun.
“Polisi seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan malah menakut-nakuti. Profesionalisme dan transparansi harus dijaga, apalagi di era Presisi seperti sekarang,” tegas salah satu tokoh masyarakat Semarang.
Publik Menunggu Langkah Tegas,
Kasus SR kini menjadi ujian bagi institusi Polri dalam menegakkan prinsip Presisi — Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan. Publik menantikan langkah nyata dari pimpinan kepolisian untuk menegakkan keadilan dan menindak tegas oknum yang terbukti melanggar SOP.
Tanpa adanya klarifikasi dan tindakan hukum yang transparan, citra Polri akan semakin terpuruk di mata masyarakat yang selama ini berharap pada tegaknya hukum dan keadilan.
(Sutarso)


0 Komentar