Sejarah "Terjadinya Tragedi berdarah Perang Bubat"

JAWA BARAT- Tatkala jaman pemerintahan raja besar wibawa di bumi Parahyangan Jawa Barat dengan gelar Sang Prabu Maha Raja Lingga Bhuwana Wisesa. Raja ini dan seluruh para ratu di bumi Sunda Jawa Barat adalah para kerabata familinya dari Sri Sanjaya Maha Raja pulau Jawa yang bersemayam dan berkuasa di Medang bumi Mataram.


Diriwayatkan di sini sang Prabu Maha Raja Sunda Galuh dahulu selama 7 tahun menjabat sebagai Dipati di Keraton Surawisesa pada masa cicitnya sang Mokteng Kiding (yang wafat di Kiding), kemudian 10 tahun lamanya menjadi Maha Menteri di Keraton Sura Wisesa tatkala masih dipimpin pemerintahannya oleh ayahandanya. Setelah itu ia menjadi Prabu Maha Raja Sunda Galuh selama 7 tahun, dengan demikian sudah 24 tahun mengalami tugas tugas kepemimpinan di Kerajaan, meskipun demikian barulah ia dipercaya menjadi maharaja memerintah secara mandiri baru selama 7 tahun saja. Adapun ia dilantik menjadi maharaja pada tanggal 14 paro terang bulan palguna tahun 1272 Saka (tahun1350/1351 Masehi).

Sang Prabu dikarunia anak gadis, sang Retna Citra Resmi namanya. Seorang gadis yang sangat cantik rupawan bagaikan bidadari turun dari surga.

Kecantikannya itu mirip ibundanya yaitu Nyi Ratna Lisning yang juga elok rupawan wajahnya bagaikan bulan purnama tanggal 14nya.

Oleh sebab itu sang Prabu Maha Raja sangat menyayanginya.

Kabar Kecantikan sang Retna Citra Resmi yang seperti bidadari ini sampailah pada Sang Prabu Hayam Wuruk sehingga beliau ingin memperistrinya dan mengirim utusan ke Keraton Surawisesa untuk meminangnya.

Di hadapan sang prabu utusan Majapahit itu menyampaikan pesan dari Prabu Hayam Wuruk untuk bisa mempersunting putrinya.

Sang Prabu sempat terkejut dan akhirnya meminta waktu untuk memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar kerajaan dan menanyakan kepada putrinya perihal ini. Sang putri menurut apa kehendak ayahandanya apabila ia harus menikah dengan Sang Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit.

Dengan ini akhirnya sang Prabu menyampaikan jawabannya kepada sang utusan dan menyampaikan rencana keberangkatan rombongan Kerajaan kepada sang utusan. Setelah menerima jawaban tersebut Sang utusan pun akhirnya kembali ke Majapahit.

Semula sang Prabu berkehendak akan menikahkan anaknya ini dengan Maha Prabu Majapahit Sri Rajasanagara (Prabu Hayam Wuruk) dengan harapan menjadi perkawinan bahagia bagi putrinya di Majapahit.

Berangkatlah rombongan sang Prabu dari Keraton Surawisesa menuju Keraton Majapahit.

Sampai di daerah Bubat wilayah Majapahit rombongan bertemu dengan Sang Patih Mada dan balatentaranya. Dalam pembicaraan kedua belah pihak Sang Patih Gajah Mada menganggap bahwa sang putri raja Sunda itu dijadikan persembahan upeti kepada Sang Prabu Majapahit. Oleh karena itu tentu saja sang Prabu Maha Raja Sunda menolaknya dan tidak mau memberikan sang putrinya dengan cara itu.

Semuanya mengerti bahwa penghinaan terhadap orang orang Sunda ialah ulah Sang Patih Mada.

Duta Sunda dengan Patih Mada sama-sama mengucapkan kata-kata dan sikap yang tidak baik akhirnya timbul pertengkaran mulut.

Akhirnya kemarahan sang Patih Mada tidak terbendung, oleh karena itu balatentara Majapahit disiapsiagakan untuk siap bertempur, semua balatentara secara serentak mengenakan busana perang lengkap dengan segala persenjataannya. Terlihat ada yang naik gajah, naik kuda, naik kereta, dan berbentuk pasukan berbaris.

Sang Prabu Maha Raja melihat hal itu merasa tertegun dengan muka menunduk, ia mulanya merasa bimbang dan ragu di hatinya karena ia memahami bahwa rombongan yang dibawanya tidak akan kuat apabila melawan pasukan perang Majapahit yang jumlahnya begitu banyak sedangkan rombongannya hanya berjumlah puluhan saja.

Ia pun akhirnya memantapkan hatinya untuk siap berperang. Sang Prabu dengan para pengikutnya tidak mau dihina dan bertekuk lutut kepada Prabu Majapahit, mereka mempunyai tekad yg kuat biarpun mati mereka rela demi nama baik Kerajaan.

Kemudian datanglah balatentara Majapahit yang dipimpin sang Patih Mada menyerang Raja Sunda dan pengiringnya yang berjumlah hanya puluhan saja.

Sang Prabu dan para pengikutnya menghadapinya bersama dengan gagah berani tidak takut mati di medan laga sehingga terjadilah pertempuran yang sangat sengit,namun akhirnya semua orang Sunda yang ada disitu dibunuh tanpa sisa oleh balatentara Majapahit dan Patih Mada.

Melihat kenyataan pahit bahwa Sang Ayahanda dan para pembesar kerajaan gugur demi nama baik kerajaan Sunda akhirnya sang Putri Retna Citra Resmi yang tidak mau dianggap dijadikan upeti dan rampasan perang pun mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Para pembesar kerajaan Sunda yang gugur di Bubat ialah Tumenggung Larang Agung, Menteri Sohan, Menteri Gempong Lotong, Ki Panji Melong Sakti, Ki Penghulu Sura, Menteri Saya, Ki Rangga Kaweni, Menteri Usus ialah Pengawal Pribadi sang Prabu Sunda,Senopati Sutrajali, Menteri Siring, Ki Jagatpaya, Ki Wirayuda,Ki Nahkoda Braja, Ki Nahkoda Bule, Ki Juru Astra (ahli penembak), Ki Sebrang Keling, Ki Supit Kelingking, Sang Prabu, puteri raja dengan seluruh dayang pengasuhnya.

Dengan kejadian perang Bubat tersebut banyak masyarakat Sunda yang merasa sedih sekaligus merasa sakit hati, para raja wilayah dari seluruh desa juga turut berduka cita. Dari peristiwa tersebut sang Prabu Maha Raja Sunda dikenal dengan julukan Sang Prabu Mokteng Bubat (sang Prabu yang gugur di Bubat).

Sang Mokteng Bubat benar benar sebagai lambang Sri Maha Raja seorang pahlawan yg gagah berani dari tanah Sunda, selama memerintah beliau memimpin dengan arif dan bijaksana.

Mendengar berita peperangan di Bubat, Sang Prabu Hayam Wuruk merasa berduka cita karena kehilangan dan rindunya pada sang putri Retna Citra Resmi seorang gadis elok rupawan bagaikan bidadari.

Sang Prabu Hayam Wuruk marah besar pada Sang Patih Mada dengan kejadian tersebut.

Sejak saat itu sang Patih Mada selalu tidak tentram dan prihatin hidupnya, tiada disangka semua peristiwa orang orang Sunda mati di Bubat adalah kesalahannya yang dibutakan oleh ambisinya untuk menaklukan seluruh nusantara dibawah Kerajaan Majapahit. Ia merasa berdosa besar karena perilakunya yang jahat terhadap orang orang yang ia bunuh hingga martabat dan nama baiknya ternoda. Untuk menghibur hatinya setiap hari temannya hanya dengan minum.

Walaupun dengan kejadian perang Bubat wilayah tanah Sunda tidak pernah dijajah oleh Kerajaan Majapahit.

Penutup:

Cerita sejarah ini sebagian besar bersumber dari kitab Negara Kertabhumi, apabila ada salah penulisan cerita mohon dimaafkan dan pembaca setia Suara Semesta bisa memberikan komentar maupun menghubungi Tim Suara Semesta untuk melengkapi cerita sejarah ini.

(Yati)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html