Pasal Karet Kebebasan Berekpresi Dinilai Bahaya-kan Demokrasi, Pakar Dorong Reformasi UU

JAKARTA-, 19 Mei 2025 — Maraknya kasus hukum terhadap warganet yang mengekspresikan kritik atau satire melalui media sosial kembali menjadi sorotan. Salah satu kasus terbaru adalah penangkapan pembuat meme yang menggambarkan Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto sedang berciuman. Kasus ini menuai kontroversi karena dianggap sebagai bentuk ekspresi politik atau satire, namun berujung pada jeratan hukum.

Menyikapi fenomena ini, sejumlah kalangan menilai bahwa sejumlah pasal dalam UU ITE dan KUHP baru masih bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan. Pasal-pasal seperti “melanggar kesusilaan” atau “penghinaan terhadap penguasa” dinilai multitafsir dan tidak memiliki batasan hukum yang tegas.

Dalam sebuah policy brief berjudul “Perlunya Reformulasi Undang-Undang untuk Menjamin Kebebasan Berekspresi yang Berkeadilan di Indonesia”, disampaikan lima rekomendasi penting untuk pembuat undang-undang, antara lain:

  1. Reformulasi pasal-pasal karet dengan istilah hukum yang tegas dan dapat diukur.
  2. Penyusunan pedoman teknis yang membedakan kritik, satire, dan penghinaan.
  3. Keterlibatan masyarakat sipil dalam proses legislasi.
  4. Pembatasan delik aduan, agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
  5. Pembentukan lembaga pemantau untuk mengawasi potensi penyalahgunaan pasal ekspresi oleh aparat penegak hukum.

“Negara hukum seharusnya melindungi kebebasan berekspresi, bukan malah menjadikannya alat represi terhadap suara kritis,” ujar penyusun policy brief tersebut.

 Kesimpulan dr Ibu Melda Istiqomah Ph.D dosen dari Universitas Brawijaya Malang dan

Para penggiat HAM, jurnalis, serta pegiat media digital mendorong agar DPR dan pemerintah segera melakukan revisi terhadap pasal-pasal bermasalah ini, demi menjamin ruang kebebasan yang sehat dan adil dalam era demokrasi digital.

@Kuswadi -Kudus Jawa Tengah

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html