Menelusuri Keindahan Goa Sentono, Cagar Budaya Penuh Sejarah Pertarungan Sengit Sunan Bonang dan Prajurit Majapahit di Kabupaten Blora

BLORA- Keindahan dan keunikan Goa Sentono yang berada di kawasan lembah Bengawan Solo Desa Mendenrejo Kecamatan Kradenan Blora menimbulkan rasa keingintahuan pengunjung untuk menelusuri sejarah terjadinya goa yang hingga saat ini masih dipercaya oleh masyarakat sekitar.


Berdasarkan beberapa cerita warga Dukuh Sentono Desa Mendenrejo, dipercaya pada zaman dahulu tersebutlah kisah ada suatu padepokan kecil yang bernama “Sentono” dibawah pimpinan Ki Blacak Ngilo. Blacak Ngilo adalah bekas prajurit Majapahit yang melarikan diri disaat terjadi perang saudara memperebutkan kekuasaan atau perang paregreg.


Tari (50) salah satu warga Dukuh Sentono menjelaskan bahwa pada mulanya padepokan yang dipimpin Blacak Ngilo ini sangat termasyur, sehingga banyak orang berbondong-bondong ke Sentono untuk nyantrik dan berguru ke Blacak Ngilo.


“Dengan arif dan bijaksana Blacak Ngilo mengajarkan berbagai macam ilmu, mulai dari cara bercocok tanam,budi pekerti, spiritual dan olah kanuragan. Banyak yang tertarik dan bersimpati terhadap Blacak Ngilo,” beber Tari.


Daerah Sentono sendiri terletak di tepi aliran Bengawan Solo, sehingga strategis untuk pertanian. Tak mengherankan jika Sentono dan sekitarnya mengalami perkembangan yang luar biasa hebat. Bahkan Blacak Ngilo oleh para pengikutnya diperlakukan bak seorang Raja.


“Namun lama-kelamaan sifat Blacak Ngilo mulai berubah. Dia mulai sewenang-wenang terhadap para pengikutnya. Masyarakat diharuskan untuk menyetorkan separoh lebih dari hasil panennya. 


Tak hanya itu, dia juga memerintahkan kepada seluruh rakyatnya yang mempunyai anak perawan agar dipersembahkan untuk di jadikan selirnya. Rakyat mulai resah, apalagi setiap malam bulan Purnama harus disediakan darah segar manusia untuk di jadikan tumbal untuk menambah kesaktiannya. Sehingga perlawanan pun mulai terjadi,” lanjut Tari sembari ngobrol santai di kawasan Goa Sentono, sore kemarin.


Menurutnya, keresahan masyarakat disaat itu sampai terdengar oleh Sunan Bonang. Kemudian Sunan Bonang yang berada di pesisir utara Jawa mengutus salah seorang santrinya untuk menemui Blacak Ngilo di Sentono yang intinya mengingatkan agar tidak lagi sewenang-wenang terhadap rakyatnya, jangan menyembah berhala dan mengikut ajaran Islam dengan lurus dan benar.


“Mendengar perkataan utusan tadi, Blacak Ngilo murka, ditebasnya leher utusan Sunan Bonang sampai putus. Tempat pemenggalan leher utusan Sunan Bonang ini sampai sekarang di abadikan menjadi sebuah desa bernama Pangulu, berasal dari kata Penggal Gulu (Penggal Leher), desa yang berada di seberang Bengawan Solo dari Goa Sentono, masuk wilayah Kec. Margomulyo, Kab.Bojonegoro, Jatim,” lanjut Tari.


Merasa di remehkan, kemudian Blacak Ngilo tidak terima, dia mengirimkan surat tantangan kepada Sunan Bonang agar datang berhadapan dengan dirinya untuk adu kesaktian. Sunan Bonang menyanggupinya, tetapi Sunan Bonang minta beberapa syarat, apabila Sunan Bonang kalah dalam pertarungan, beliau rela menjadi pengikut Blacak Ngilo , dan sebaliknya apabila Blacak Ngilo yang kalah, Blacak Ngilo harus meninggalkan semua perbuatan-perbuatan buruknya dan harus masuk Islam. Kedua belah pihak pun menyetujui perjanjian tersebut.

(LISWANTO)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html