Demokrasi Terancam Diamputasi Oleh Mahkamah Konstitusi, Bila Terapkan Sistem Proporsional Tertutup Pada Pemilu Nanti

JAKARTA - Mengutip dari pemberitaan Uwrite.id edisi 28/05/23, Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi yang diterimanya, pemilu tahun 2024 akan mengadopsi sistem proporsional tertutup dalam putusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal ini berarti MK secara resmi akan menerima gugatan secara terbuka dan mengembalikan sistem proporsional tertutup seperti yang ada pada era Orde Baru (Orba).


“Informasinya, putusan MK kembali ke proporsional tertutup, putusan ini terdiri dari 6 suara setuju dan 3 suara tidak setuju,” ungkap Denny seperti yang dilansir Republika pada hari Minggu (28/5/2023).

Dalam penjelasannya, Denny menjelaskan bahwa keputusan MK ini tidak mendapatkan persetujuan dari seluruh sembilan hakim yang terdiri dari tiga lembaga yang dipilih oleh DPR, Presiden, dan MA. Hanya enam hakim yang menyetujui keputusan tersebut, sedangkan tiga hakim lainnya memiliki pendapat yang berbeda.

Namun, Denny mengungkapkan bahwa sumber informasi yang ia peroleh bukan seorang hakim konstitusi namun ia memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kredibilitas sumber tersebut.

“Siapa sumbernya? orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan hakim konstitusi,” kata dia.

Dalam konteks ini, Denny menjelaskan bahwa jika MK secara resmi mengadopsi gugatan yang diajukan, sistem pemilu di masa depan akan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup seperti yang ada pada era Orba dari tahun 1955 hingga 1999.

"Kita akan kembali ke sistem pemilu Orba yang otoriter dan koruptif," tegasnya.

Respon ICW Terkait Isu Keputusan MK Sistem Proporsional Tertutup

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan kekhawatiran terkait penerapan sistem pemilihan anggota legislatif dengan sistem tertutup yang proporsional. ICW berpendapat bahwa sistem ini berpotensi melahirkan praktik korupsi yang masif dan sulit dideteksi.

Kurnia Ramadhana, seorang peneliti ICW, berharap MK tetap memutuskan menggunakan sistem proporsional terbuka dalam sidang putusannya.


"Tentu ICW berharap putusan MK nanti tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Karena kami mengajukan gugatan, konsep proporsional tertutup justru berpotensi membuka praktik korupsi di internal Parpol,” ujar Kurnia dikutip dari Kumparan, Minggu (28/5).

Sistem proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan di mana pemilih hanya mencoblos lambang partai tanpa adanya calon daftar legislatif. Calon legislatif yang mendapatkan kursi di DPR ditentukan oleh partai politik.

Kurnia menambahkan bahwa sistem proporsional tertutup akan memicu praktik korupsi yang luas dan sulit terdeteksi. Menurutnya, calon legislatif cenderung nomor urut kepada partai politik, karena calon dengan nomor urut teratas memiliki peluang besar untuk mendapatkan kursi di DPR. Praktik ini berpotensi menjadi politik uang.

"Kami khawatir dengan adanya sistem proporsional tertutup, praktik korupsi akan semakin luas, terutama jika MK mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup,” ungkap Kurnia.

Selain masalah korupsi yang meluas, sistem tertutup juga dianggap jauh dari representasi masyarakat. Terlebih lagi, partai politik selalu menduduki peringkat terbawah dalam berbagai survei kepercayaan publik.

“Selain itu, sistem proporsional tertutup akan menjauhkan hubungan antara masyarakat dan calon anggota legislatif. Hal ini menjadi perhatian kami ketika MK memutuskan sistem proporsional tertutup,” ujar Kurnia.

"Kami berpendapat bahwa menerapkan sistem proporsional tertutup pada partai politik tidak akan memberikan manfaat. Pertama, kami tidak percaya pada institusi partai politik. Kedua, hal itu akan membuka ruang bagi praktik korupsi di internal partai politik," tutupnya.

(Sumadi)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html