FPP Audien ke DPRD Soal Internet Yang Boroskan Uang Belasan Milyar, Ini Penjelasan Disdikpora Pangandaran
PANGANDARAN- Melalui rilis yang disampaikan Forum Peduli Pendidikan (FPP) ke Sekretariat Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, bahwa sejumlah massa dari berbagai kalangan tokoh masyarakat, aktivis, mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung di Forum Peduli Pendidikan, Kamis (9/3) siang, menggelar audiensi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pangandaran.
Audiensi tersebut terkait persoalan internet fiber optic 40 Mbps tahun 2020-2021, program dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran, yang saat ini tengah menjadi konsumsi publik, karena dianggap merugikan keuangan dalam hal memboroskan uang negara yang sangat fantastis, menelan angka hingga belasan milyar rupiah.
Encep Najmudin, SH., perwakilan dari Komisi IV menerima massa dari FPP dan memfasilitasi audiensi di gedung DPRD dengan dihadiri pihak Disdikpora, salah satu kepala sekolah dasar negeri (SDN) serta kepala sekolah menengah pertama negeri (SMPN), unsur TNI dan Polri juga ikut memantau jalannya acara tersebut.
Acara audiensi berjalan hangat dan kondusif, diisi dengan beberapa pertanyaan kepada pihak Disdikpora mengenai teknis, mekanisme, sistem tentang pengadaan internet. Selain itu, penegasan dari FPP ke Komisi IV DPRD, agar melaksanakan beberapa petisi yang diajukan secara tertulis.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pangandaran, Agus Nurdin, M.Pd., saat audiensi menjelaskan alasannya kenapa harus menentukan internet fiber optic domestik 40 Mbps. Dirinya beralasan, karena berkenaan dengan diberlakukannya program Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).
"Saya memiliki juknis dari Kemendikbud, bahwa satu client itu minimal harus 2 Mbps dan internetnya harus dedicated. Nah, logika saya; kenapa meminta 40 Mbps, yaitu karena dalam satu SD secara standar yaitu kurang lebih ada 28 orang per-siswa. Kalau 28 siswa dibagi dua untuk pelaksanaan ANBK, maka ada 14 client, 14 client harus kali dua, maka jadi 28 Mbps bandwidth yang harus disediakan ketika pelaksanan ANMBK, nah, 28 Mbps itu pas-pasan, saya harus memiliki spare agar bagaimana orang-orang seperti operator tetap menggunakan internet dengan baik, maka muncullah di angka 40 Mbps," terangnya.
Agus menuturkan, bahwa pengadaan internet 40 Mbps itu menggunakan sistem e-catalog. "E-catalog tahun 2021 itu sudah dijamin kewajaran harganya oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Ya saya klik lah," ucapnya.
Selanjutnya, sambung Agus, ketika ada pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Disdik ditegur melakukan pemborosan karena ternyata bandwidth yang digunakan itu hanya kurang lebih 30% (rata-rata dalam satu tahun). "Saya menolak pernyataan itu, karena memang akan ada penggunaan 30%. Sebab, sekolah itu dimulai dari pukul 07.00 - 13.00 WIB, hanya 6 sampai 7 jam, belum kepotong hari libur, jadi pemanfaatan 30% itu hemat saya sudah sangat optimal."
"Saya memberi contoh begini kepada teman BPK, saya sewa mobil misalkan Inova; satu hari itu harganya 2,4 juta. Tapi kan 2,4 juta itu tidak mungkin dalam 24 jam mobil tadi itu saya pakai. Pasti ada istirahatnya, pasti mobil itu saya simpan di garasi. Dan ketika dihitung rata-rata satu hari mengguankan 10 jam, maka 14 jam itu dikali seratus, jadi dianggap melakukan pemborosan 1,4 juta. Saya pikir itu tidak mengena," ulasnya.
"Jadi hemat saya, saya hanya ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak. Tetapi sudut pandang yang berbeda dari teman-teman pemeriksa BPK. Yang kalau pun saya mengambil berapa Mbps tetap akan terjadi pemborosan, kenapa? karena sekolah hanya 7 hari. Tapi apakah dengan 7 hari anak-anak nggak boleh dapat internet? ya nggak juga," urainya.
"Saya tidak menyangkal, bahwa hasil temuan BPK ada pemborosan. Tetapi, di situlah persoalannya. Kalau saya bekerja untuk anak-anak sekolah, bagaimana memfasilitasi anak sekolah seoptimal mungkin, tapi mereka bagaimana mengaudit dari sisi keuangan. Jadi sebenarnya, istilahnya beginilah; saya memberikan sesuatu yang lebih ke anak-anak, sementara penggunaanya ya itu tadi hanya 6 sampai 7 jam," ujarnya.
Tentang pemasangan internet 40 Mbps di kantor Koordinator Wilayah (Korwil), Kepala Disdikpora mengaku, bahwa itu adalah hasil inovasinya dan pihaknya siap argumen untuk menjawabnya. "Itu adalah inovasi saya, agar sekolah yang tidak dapat internet dia bisa berkumpul, dia bisa bersosialisasi, dia bisa menggunakan internetnya itu di kantor Korwil," tambah Agus.
Sementara, salah satu aktivis yang juga sebagai Koordinator Lapangan (Korlap) FPP, Anton Rahanto, sebelumnya juga telah menyampaikan hasil temuannya di lapangan yang diperkuat oleh data hasil pemeriksaan intern pihak BPK, beberapa soal pun disinggungnya, dan statementnya tersebut sudah ditulis di beberapa media cetak dan online beberapa waktu lalu.
Maka, usai audiensi, Anton langsung gelar konferensi pers ke awak media, dan menyatakan, bahwa dalam audiensi tersebut, FPP lebih menekankan kepada pihak DPRD, khususnya Komisi IV untuk melaksanakan petisi yang diajukan. "Kami meminta kepada Komisi IV yang sesuai dengan kewenangannya agar menindaklanjuti aduan dari kami. Diharapkan kinerja DPRD jangan mandul," tegasnya.
Adapun beberapa petisi yang diajukan, yaitu di antaranya:
- Harus terbentuknya dewan pengawas pendidikan di Kabupaten Pangandaran, dimana secara peraturan ini adalah wajib ada.
- Terbentuknya Dewan Kebudayaan yang sebelumnya sudah menjadi wacana dengan Ketua DPRD.
- Dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan semua permaslahan di Bidang Pendidikan dengan melibatkan Forum Peduli Pendidikan.
"Khususnya terkait internet fiber optic 40 Mbps harus menjadi skala prioritas, Komisi IV harus sungguh-sungguh menanganinya. Menindaklanjuti dengan cara meneruskan permasalahan ini kepada pihak yang berwenang (APH, BPK) dan dikawal bersama kami sampai dengan tuntas," tandasnya.
Mengenai permasalahan internet 40 Mbps, sambung Anton, sudah jelas terlihat sesuai dengan fakta di lapangan, sekolah dan kantor Korwil yang sudah mempunyai internet sebelumnya malah dipasang kembali, padahal itu dirasa cukup dan mumpuni tidak menjadi kendala. "Justru kalau memang menjalankan sesuai yang diamanatkan peraturan melakukan perencanaan dengan benar (kerangka acuan kerja), identifikasi kebutuhan secara rill di lapangan dan melakukan survei harga. Pasti akhirnya tidak akan jadi seperti ini kerugian uang pemborosan, setidaknya bisa terminimalisir kalau ada pun. Efektif dan efisien," paparnya.
Di tempat terpisah, Encep Najmudin, SH., dari Komisi IV DPRD Pangandaran, siap menindaklanjuti apa yang menjadi petisi FPP. "Kami sangat apresiasi kepada FPP yang peduli terhadap Kabupaten Pangandaran, khususnya di dunia pendidikan. Dan seterusnya, kami akan segera sampaikan kepada pimpinan dan secepatnya mengadakan rapat untuk tindak lanjut ke depannya," ringkasnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Ketua PPWI Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, mendukung penuh gerakan FPP guna perbaikan kedepannya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dari praktik-praktik ketidakbenaran. "PPWI sangat apresiasi dan mendukung," ujarnya.
Agus menilai, dalam persoalan internet fiber optic 40 Mbps tersebut, terlihat ada aturan yang diduga tidak diindahkan, yaitu salah satunya adalah peraturan LKPP No. 11 Tahun 2021 tentang pedoman perencanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. "Sudah jelas terlihat, kuncinya ada di perencanaan yang didetailkan di Kerangka Acuan Kerja (KAK)," tuturnya.
Selanjutnya, Agus menegaskan, dengan menghormati dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, persoalan internet fiber optic 40 Mbps tersebut harus dibawa kepada pihak yang berwenang, agar terhindar dari opini yang menghakimi juga agar terang benderang. "Persoalan ini harus disampaikan kepada penegak hukum, biarkan mereka pihak berwenang yang menentukan ada dan tidaknya perbuatan melawan hukum, baik lalai ataupun disengaja," pungkasnya.
(Reina)
0 Komentar