Pemahaman Sastra Dunia Untuk Penguatan Karakter Di Blora

 BLORA- pertapakendeng.com-LUAR biasa dan patut diacungi jempol  saat Rumah Literasi Blora berkolaborasi para alumni SMAN Blora angkatan “82 menggelar seminar nasional bertajuk  “Pemahaman Sastra Dunia Untuk Penguatan Karakter” di pendapa rumah dinas Bupati Blora,  Rabu  (21/12/2022).


Dan bukan main-main pula nara sumber yang dihadirkan sekelas sastrawan  Triwiyanto Triwikrono, S.Pd., M.Hum. Disamping nara sumber lain, seperti  Aprinus Salam, Kusno Widodo.


Tak apalah, materi yang serasa terlalu “wah”, dan serasa Triyanto tengah bertauziah sastra di acara yang sebenarnya oleh panitia ditujukan untuk menggeliatkan literasi di Blora dan mendorong Blora melek literasi, sekaligus harapan, seperti yang dikemukakan Ketua Panitia,  Heri Mursanto, akan muncul  kreator-kreator di Blora. Pasalnya, Blora mempunyai Pramodya Anantoer, Budi Dharna dan sejumlah nama lain. 


Sepakat apa yang disampaikan Bupati Blora, H. Arief Rohman MSi, bahwa seminar tersebut mampu terus mendorong kondisi literasi di Blora yang tengah menggeliat-menggeliatnya.


Harapan yang dikemukakan Bupati Arief, ingin menjadikan Blora sebagai kota budaya. Fakta yang ada, minat anak-anak Blora di bidang budaya besar. Salah satu parameteranya, jumlah anak Blora yang kuliah ke jurusan seni, grafiknya naik.


‘’Ini akan kami dorong terus. Pemkab Blora akan menyediakan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu untuk bisa kuliah. Institur Seni Indonesia (ISI) siap menerima anak-anak Blora untuk kuliah di  ISI. Dewan Kebudayaan Blora juga baru saja saya lantik. Silahkan panggung terbuka di  Taman Tirtonadi untuk pentas dalam rangka menggeliatkan budaya.


Fakta Kehidupan


Terkait tema seminar nasional  “Pemahaman Sastra Dunia Untuk Penguatan Karakter”, Triwiyanto yang sastrawan, pengajar dan jurnalis (Pimpred Suara Merdeka), di awal pengarang buku  Kematian Kecil Kartosowirjo, mempaarkan fakta kehidupan saat ini.


Dikatakan, manusia saat ini hidup di era  Phygital  (physical-digital), dimana era yang lahir dari seuau yang disebut kebudayaan teknologi. Era Phygital identik  dengan sebuah massa yang disebut the net generation.


Dalam era internet, manusia hidup dalam sesuatu yang disebut budaya layar. Dimana manusia waktu hidupnya banyak di dunia layar ketimbang waktu non layarnya. Manusia lebih asyik ke dunia facebook, Twitter, Youtube Dan perangkat media soail lainnya.


Termasuk, kondisi saat ini kita hidup dalam massa yang disebut era glokalisasi, yakni perpaduan yang global dan yang lokal. Dan dalam situasi seperti itu akan menghasilkan manusia hibrid. Manusia yang tidak diam di satu ruang, melain manusia yang menjelajah aneka ruang. 


Terkait apakah menghadirkan “sastra dunia” sebagai penguatan karakter bolehkah ? Ditandaskan Triwiyanto Triwikromo,  belajar dari kehidupan Jawa, dimana betapa global melesap ke dalam lokal, yang bisa disimak dalam ungkapan orang Jawa ketika merespon perintah shalat  ( Lungguhku ya shalatku, Ngadegku ya shalatku, Mlakuku ya shalatku....) – ini tidak harus dipahami penolakan Jawa atas Islam, justru merupakan momot dan momong Jawa kepada yang lain, MeRupakan sebuah “etika kedaifan” Jawa terhadap liyan.


Untuk itu, lanjutnya,   menghadirkan “sastra dunia” sebagai penguatan karakter,  kita harus memahami dulu sastra macam apakah y ang seharusnya ada di dalam kehidupan kita yang kian skizofrenik, terbelah, teracak-acak dan retak. 


Menurut pengarang buku Pertempuran Lain Drupadi, kita mesti memproduksi sastra sebagai ibadah. Dengan adanya humanisasi, liberalisasi dan transedensi, sastra akan bisa digunakan untuk mencapai satu tahapan agung yang disebut sebagai rahmatan lil alamin. 


Ketika kita sudah mendapatkan aneka karakter dari liyan, dijamin oleh Triyanto, bahwa kita tetap mempunyai identitas. Sangat salah kita menganggap adonan dari pelbagai belahan dunia akan mengubah kita menjadi mahkluk hibrid.


‘’Identitas kita  tak hilang. Melainkan, identitas kita melesap dalam bentuk baru. Identitas kita manjing ajer ajur ing kahanan. Identitas kta nuting jaman kelakone. Identitas kita adaftif yang terus bergerak dan bergerak,’’  tandas Triyanto yang tinggal di Semarang itu.  Nuting jaman kelakone. Amenangi jaman edan, yen ora ngedan ora kedhuman – luwih becik dadi wong kang ati-ati lan waspada.

(LISWANTO)

0 Komentar

bumdes
Redaksi https://www.pertapakendeng.com/2023/02/redaksi.html